Selasa, 27 Desember 2011

Maulana Arif Fadli













Maulana Arif Fadli (lahir di Sigli, Aceh, 7 Desember 1992; umur 19 tahun) adalah seorang yang biasa keturunan Jawa dan Aceh. Ayahnya merupakan seorang berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tepatnya di kota Rembang dan ibunya berasal dari kota Sigli, Aceh. Memiliki karakter yang sedikit pendiam dan cenderung terlihat seperti orang yang kurang bersosialisasi. Gemar menggambar, dan bercita-cita menjadi komikus. Sejak kecil ia telah sering mencoret-coret di kertas kosong hanya untuk sekedar menggambar apa yang dilihatnya. Ia memiliki seorang adik perempuan bernama Maulidia Reswati Ningrum yang berselisih lima tahun dengannya. Perjalanan hidupnya tidaklah begitu menyenangkan namun tetaplah menjadi kehidupan yang harus dijalaninya. Maulana kecil tidak pernah mengenyam bangku sekola Taman Kanak-Kanak, di usia yang ke-5 ia langsung masuk ke Sekolah Dasar, di kawasan Lenteng Agung, Jakarta. Awalnya ia tidak diterima di sekolah tersebut karena, pihak sekolah menganggap ia belum cukup umur untuk masuk SD, akhirnya dilakukan serangkaian test mulai dari test menulis, membaca, dan lain sebagainya. Pertama menginjak bangku sekolah, tidaklah hal buruk baginya. Dua tahun ia bersekolah, rangkingnya berada di 2 besar, meski ia lebih muda dari yang lainnya. Namun di tahun ketiga, ia harus pindah sekolah karena orang tuanya yang pindah dinas ke daerah Bekasi, Jawa Barat. Di Bekasi ia bersekolah di SD Mustika Jaya 6, dengan suasanan baru dan teman-teman baru ternyata cukup sulit baginya untuk menyesuaikan diri. Pelajaran yang dianggapnya paling sulit adalah pelajaran Bahasa Sunda. Dua tahun berselang saat kelas 4 SD, Maulana kecil kembali pindah sekolah, kali ini lebih jauh lagi yaitu Medan, Sumatra Utara. Di sini ia bersekolah di SDN 27 (060863), di sini tingkat adaptasi Maulana diuji, karena Medan sangatlah jauh berbeda dengan Jakarta ataupun Bekasi pada saat itu. Namun di sini ia menemukan banyak teman lamanya, karena sebelum masuk SD di Jakarta, Maulana pernah tinggal di Medan. Di Medan prestasinya tidaklah begitu menonjol, mungkin karena faktor banyak teman yang selalu mengajaknya bermain dan sangat jarang untuk belajar, namun ia tidak pernah keluar dari 10 Besar. Saat kelulusan SD, ia melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP di SMP Laksamana Martadinata. Di sekolah ini, keberagaman terlihat begitu nyata. Mulai dari perbedaan agama, perbedaan etnis (dalam dan luar) dan juga Sekolah Laksamana Martadinata menggabungkan dari TK, SD, SMP, SMA, hingga Kampus Maritim dalam satu tempat, sehingga sekolah ini sangatlah ramai. Dua tahun berselang di SMP Laksamana Martadinata, iapun pindah sekolah lagi. Keadaan kedua orang tuanya yang sering cekcok membuat ibunya membawa Maulana dan adiknya ke kampung halamannya di Sigli. Di Sigli, mereka bertiga tinggal di Rumah neneknya. Dan di sini, lagi-lagi proses adaptasi harus dilakoni Maulana. Perbedaan drastis dari suatu kota ke sebuah desa yang masyarakatnya masih kental nuansa Aceh. Awalnya membuat dirinya terkejut dengan kondisi seperti ini. Lalu di Sigli ia melanjutkan sekolahnya di SMPN 1 Sigli. Di sini prestasinya cukup baik dan menonjol dari anak-anak yang lain, meskipun ia hanya anak baru. Dan saat kelulusan SMP, ia lulus dengan nilai yang cukup baik. Lalu ia melanjutkan sekolahnya ke sebuah SMA yang cukup baru yaitu SMAN 11 Banda Aceh. Ia dan keluarganya hijrah ke Aceh Besar. Di sini awalnya ia cukup terkejut dengan jarak sekolahnya yang amat jauh dari kediamannya di Lambaro, Aceh Besar. Juga dengan teman-teman sekelasnya yang laki-laki semua. Di sekolah ini memang menegakkan Syariat Islam di mana siswa dan siswi dipisah. Namun tiga tahun berselang, ia sudah terbiasa dengan hal itu. Prestasinya cukup baik dengan rangking yang paling buruk adalah rangking 2. Dan ia juga pernah menduduki Rangking 2 terbaik dari seluruh siswa/i di sekolah tersebut. Karena efek pemisahan kelas, Maulana menjadi seorang yang sangat jarang berbicara dengan perempuan. Saat kelulusannya, ia mendapatkan nilai yang cukup bagus dan sangat berambisi untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri yang sarat gengsi di Kota Banda Aceh, bahkan di Provinsi Aceh. Namun hal itu sempat tidak terjadi, karena ayahnya tidak mengizinkannya dan lebih memilih ia untuk masuk ke militer. Namun saat pendaftaran militer, usia Maulana pada saat itu belumlah cukup. Sehingga ayahnya mengizinkan ia untuk berkuliah. Saat teman-teman seangkatannya di SMA mengikuti SPMB ia tidak ikut karena tidak diizinkan. Setelah diizinkan, ia mengikuti ujian SNMPTN, namun waktu pendaftaran sudah habis. Ia tidak kehilangan akal, akhirnya ia mendaftar pada saat SNMPTN untuk siswa yang telat lulus SMA karena bermasalah dengan UN. Saat pendaftaran, ia memilih IPC dengan urutan:
1. Teknik Sipil
2. Hukum
3. Akuntansi Ekonomi
Dari ketiga pilihan tersebut, sebenarnya bukanlah pilihan dari Maulana sendiri, melainkan saran dari seorang sahabatnya yaitu Teuku Hadi. Maulana sendiri tidak begitu yakin, namun saat pengumuman hasil SNMPTN ia lulus di Fakultas Hukum USK. Dan ia masih berkuliah hingga sekarang.

1 komentar: